*Warga Rt 8 Pondok Perasi Menolak Ketidakadilan di Tanah Sendiri* Apa yang menimpa warga RT 08 Pondok Perasi bukan sekadar kisah penggusuran atau relokasi teknis.
Mktipikor.id || NTB _adalah tragedi sosial yang menyentuh hak paling mendasar: hak untuk hidup, hak atas tanah, identitas komunitas, dan keadilan sosial.
Pemerintah Kota Mataram telah melakukan penggusuran tanpa memastikan adanya perlindungan yang layak bagi lebih dari 60 kepala keluarga yang kini terdampar tanpa kepastian.
Tenda-tenda relokasi yang disiapkan pemerintah terpantau kosong hingga hari ini. Warga dengan tegas menolak dipindahkan ke lokasi relokasi di Kebon Talo, belakang Pasar Ikan Bintaro *ALASANNYA JELAS*: tenda-tenda tersebut terlalu jauh dari tempat tinggal semula, tidak menunjang aktivitas ekonomi warga, serta memutus akses anak-anak ke sekolah. Lebih dari itu, kawasan tersebut dikelilingi belukar dan dikhawatirkan menjadi sarang ular atau serangga liar. Lokasi tersebut dianggap tidak aman dan tidak layak huni oleh warga terutama lansia dan anak-anak.
Babinsa yang rutin mendatangi lokasi bahkan menyampaikan bahwa tenda relokasi tersebut akan dibongkar pada Minggu pagi (1 Juni 2025), karena tidak satu pun warga bersedia menempatinya. Ini menjadi bukti nyata bahwa relokasi bukanlah solusi, melainkan penelantaran sosial yang dibungkus dalam bahasa birokrasi. Padahal, pendekatan relokasi seharusnya didasarkan pada persetujuan warga, bukan pemaksaan.
Parahnya lagi, penggusuran dilakukan tanpa surat perintah pengadilan, tanpa dokumen administrasi yang sah, dan tanpa keterlibatan lembaga perlindungan sosial. Ini adalah bentuk penggusuran paksa yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, baik secara nasional maupun internasional.
Negara, dalam hal ini pemerintah kota, telah gagal menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi warga negaranya.
Warga RT 08 bukan menempati lahan negara secara sembarangan. Sejak lebih dari 30 tahun lalu, mereka telah mengelola kawasan sempadan pantai tersebut atas dasar surat disposisi dari pemerintah kota. Surat ini menjadi dasar legitimasi sosial dan administratif dalam membangun permukiman serta kehidupan komunitas.
Namun kini, tanah itu diklaim sebagai milik pribadi oleh seorang pengusaha asal Jakarta, Ratna Sari Dewi, berdasarkan Sertipikat Hak Milik (SHM) yang dinilai cacat hukum.
Sesuai PP No. 16 Tahun 2004 Pasal 55, tanah sempadan pantai adalah tanah negara yang tidak dapat dimiliki secara pribadi karena fungsinya sebagai kawasan lindung dan ruang publik. Sertifikat hak milik di atas tanah seperti ini tidak sah. Hal ini dikuatkan oleh UUPA No. 5 Tahun 1960, yang menyatakan bahwa hak atas tanah negara tidak bisa dialihkan menjadi hak milik tanpa prosedur dan tujuan penggunaan yang sah.
*JIKA INGIN MENAWARKAN GANTI RUGI, Warga RT 08 menuntut ganti rugi yang MANUSIAWI DAN ADIL!* yakni tanah pengganti yang layak dan tetap atau kompensasi finansial setara dengan lahan yang telah mereka tempati dan kelola selama puluhan tahun. Mereka juga menuntut ganti rugi materiil dan non-materiil atas kerugian psikologis, ekonomi, dan sosial akibat penggusuran paksa tersebut.
*Tuntutan ini bukan bentuk perlawanan, melainkan ekspresi sah atas hak-hak warga negara.*
Sayangnya, hingga hari ini, belum ada satupun pejabat tinggi baik dari pemerintah kota maupun provinsi yang sudi turun langsung ke lokasi untuk melihat kondisi warga. Mereka yang terus bertahan di lokasi bukan karena keras kepala, tetapi karena tidak ada alternatif layak yang ditawarkan.
*Dialog yang seharusnya menjadi jalan tengah justru digantikan oleh pengabaian sistematis.*
Warga tidak pernah menolak pemerintah. Mereka hanya menolak ketidakadilan. Mereka menolak direduksi menjadi angka-angka statistik penggusuran tanpa wajah. Mereka menolak kehilangan rumah, sekolah anak-anak, laut, dan pasar yang telah menjadi jantung kehidupan mereka selama puluhan tahun. Mereka hanya ingin diperlakukan dengan adil sebagai warga negara.
Inilah saatnya Wali Kota Mataram dan Gubernur NTB membuka mata dan hati. Bukan untuk membenarkan prosedur yang cacat, melainkan untuk mengakui bahwa telah terjadi kekeliruan dalam tata kelola konflik agraria yang berdampak pada martabat manusia.
*Warga Pondok Perasi butuh lebih dari sekadar tenda; mereka butuh keadilan yang manusiawi.*
jurnalis Nasional : U.jayadi
Admin : Redaksi mktipikor.id
Editor : Redaksi